”Sextortion” merupakan bentuk korupsi Gender. Meski tingkat ”sextortion” di Indonesia tertinggi di Asia (GCB 2020) dan terjadi di berbagai sektor, termasuk pendidikan, belum banyak kasus yang terungkap ke publik.
Barangkali publik masih mengingat kasus yang menjerat hakim Setyabudi Cahyo pada 2009-2010 terkait suap untuk memberikan putusan ringan dan membebaskan Wali Kota Bandung Dada Rosada, Sekretaris Daerah Bandung, dan Herry Nurhayat dalam perkara kasus korupsi dana bantuan sosial Pemerintah Kota Bandung. Hakim Setyabudi adalah ketua majelis hakim dalam perkara tersebut. Ironisnya, hakim Setyabudi tak hanya meminta imbalan berupa sejumlah uang, tetapi juga layanan seksual yang harus disediakan oleh Toto Hutagalung sebagai perantara untuk menjalankan aksi tersebut.
Sejumlah aspek dapat diidentifikasi dalam uraian perkara itu. Pertama, hakim Setyabudi telah menyalahgunakan kekuasaannya sebagai hakim. Kedua, hakim Setyabudi meminta imbalan berupa aktivitas seksual dengan melibatkan pihak lain yang diminta menyediakan layanan seksual atas keuntungan yang didapat oleh Pemkot Bandung untuk meringankan putusannya. Ketiga, hakim Setyabudi menggunakan paksaan psikologis untuk memperoleh aktivitas seksual daripada kekerasan fisik.
Persinggungan antara aktivitas seksual dan korupsi pada perkara tersebut terjadi ketika hakim Setyabudi yang memiliki posisi otoritas meminta imbalan berupa aktivitas seksual dalam menyalahgunakan kekuasaan yang dipercayakan kepadanya. Sejumlah aspek tersebut telah mengindikasikan bahwa hakim Setyabudi telah melakukan sextortion atau kekerasan seksual dalam pelayanan publik.
Istilah sextortion barangkali memang terdengar asing di ranah publik. Belum banyak diskursus seputar sextortion kaitannya dengan tindak pidana korupsi. Padahal, menurut Global Corruption Barometer (GCB) 2020 yang diluncurkan oleh Transparency International, Indonesia menempati posisi teratas sebagai negara dengan tingkat sextortion tertinggi di Asia (18 persen). Lebih mengkhawatirkan lagi, angka tersebut dua kali lipat di atas rerata Asia (8 persen).
Sextortion sebagai jenis korupsi pertama kali dicetuskan pada 2008 oleh International Association of Women Judges (IAWJ). Istilah ini merujuk pada suatu fenomena yang terjadi ketika mereka yang dipercayakan atau memiliki kekuasaan menggunakannya untuk mengeksploitasi secara seksual kepada mereka yang bergantung pada kekuasaan itu.
Menurut Transparency International, sextortion adalah penyalahgunaan kekuasaan untuk mendapatkan keuntungan seksual yang dilakukan oleh seseorang dengan kekuasaan/wewenang, dan menargetkan orang lain yang berada di posisi lebih lemah. Selain itu, sextortion merupakan bentuk korupsi jender yang terjadi di negara maju dan berkembang, memengaruhi anak-anak dan orang dewasa, individu yang rentan (seperti migran tidak berdokumen yang melintasi perbatasan), dan profesional.
Mengacu pada data GCB 2020, lebih dari setengah korban pemerasan seksual yang mengakses layanan publik adalah perempuan. Data ini memperkuat bukti bahwa perempuan ditargetkan secara tidak proporsional, tetapi laki-laki, transjender, dan orang-orang yang tidak menyebutkan jender juga terpengaruh. Meskipun perempuan ditargetkan secara tidak proporsional, laki-laki juga dapat menjadi korban sextortion.
Fenomena gunung es
Angka yang memilukan dari data GCB 2020 menunjukkan bahwa sextortion patut menjadi perhatian. Meskipun tingkat sextortion di Indonesia tertinggi di Asia, nyatanya belum banyak kasus yang terungkap ke publik. Budaya ”diam” dan tabu, stigma negatif dan pengucilan terhadap korban, sulitnya untuk membuktikan terjadinya pemerasan seksual, serta belum adanya mekanisme pelaporan yang peka jender menjadi indikasi kuat mengapa sextortion tidak dilaporkan.
Sextortion dapat terjadi di berbagai macam sektor. Transparency International Indonesia mencatat, selain kasus sextortion yang menjerat hakim Setyabudi dalam sektor yudikatif, sejumlah kasus sextortion juga terjadi di beberapa sektor lain, seperti kepolisian dan pendidikan.
Pada sektor kepolisian, misalnya, tercatat pada 2016, dua polisi di Malang, Jawa Timur, melakukan pemerasan seksual kepada dua siswi SMK yang tertangkap setelah ditilang karena tak bisa menunjukkan surat izin mengemudi (SIM). Polisi tersebut memaksa korban untuk melakukan aktivitas seksual sebagai bentuk barter.
Pada 2021, seorang polisi di Kutalimbaru, Sumatera Utara, melakukan pemerasan seksual kepada istri tersangka narkoba dengan iming-iming menyelesaikan kasus suaminya. Selain pemerasan seksual, pelaku juga meminta sejumlah uang kepada korban.
Tak kalah mengkhawatirkan, sextortion juga menjerat sektor pendidikan. Terbaru, pada 2022, seorang dosen di Universitas Sriwijaya melakukan pemerasan seksual kepada mahasiswinya yang meminta tanda tangan untuk keperluan skripsi. Kasus-kasus sextortion yang terungkap ke publik ini hanya yang terlihat di permukaan saja. Menilik data GCB 2020, bisa jadi banyak kasus sextortion yang belum terpotret oleh publik.
Penyadartahuan publik
Meskipun sextortion belum banyak dibahas dan dipahami dalam diskursus mengenai agenda pemberantasan korupsi, penting untuk mendorong masyarakat secara luas agar mempunyai pengetahuan mengenai hal ini. Harapan ke depan, masyarakat, khususnya kelompok rentan, dapat mengidentifikasi serta melaporkan perilaku yang menjurus kepada sextortion, baik itu yang dialami sendiri maupun yang terjadi di lingkungan sekitarnya. Aspek ini juga harus diperkuat dengan kesempatan dan pelindungan untuk pelapor (whistleblower) sehingga pelapor ataupun korban dapat melaporkan kasus sextortion dengan aman.
Lebih dari itu, meskipun belum ada instrumen hukum spesifik terkait sextortion dalam kaitannya dengan korupsi, peluang tersebut masih dapat diakomodasi dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) dan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Hal ini memungkinkan untuk dilakukan karena pelaku merupakan sesorang yang menyalahgunakan kedudukan atau wewenangnya sebagai pejabat publik atau penegak hukum. Perlu diingat pula bahwa pola dari beberapa kasus sextortion yang telah disebutkan terjadi di mana pemaksaan imbalan berupa aktivitas seksual bersamaan dengan korupsi uang itu sendiri.
Sebagai contoh, pemberatan pidana penjara dan pidana denda yang diatur dalam Pasal 6 huruf (c) dan Pasal 12 UU TPKS dapat menjadi alternatif dalam menjerat pelaku atas penyalahgunaan kedudukan, wewenang, dan kepercayaan. Selain itu, pada Pasal 11 UU TPKS disebutkan, setiap pejabat yang melakukan kekerasan seksual dapat dipidana penjara paling lama 12 tahun dan pidana denda paling banyak Rp 300 juta. Pada UU Tipikor, pasal sementara yang dapat digunakan adalah yang berkaitan dengan praktik gratifikasi yang diatur dalam Pasal 12.
Diharapkan dengan peluang pengaturan ini, aparat penegak hukum dan masyarakat luas dapat memahami urgensi pelaporan dan penanganan kasus sextortion dalam kaitannya dengan agenda pemberantasan korupsi.
Penulis : Izza Akbarani, Peneliti Transparency International Indonesia
Sumber : Transparency International Indonesia